![]() |
Pengambilan keputusan dalam teori psikologi dan dalam kacamata Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar (gambar : Freepik) |
Minggu 15 Maret 2020 adalah hari pertama lockdown kota
Jakarta. Hari yang juga menjadi hari pertama Carissa Grani menjadi
seorang muslimah. Tepat setelah adzan dzuhur berkumandang, wanita berusia 36 tahun
itu melafalkan dua kalimat syahadat dibimbing oleh seorang ustadzah di kantor
Mualaf Center Jakarta Barat.
Awalnya wanita yang berprofesi sebagai seorang dokter gigi ini,
mengunjungi kantor Mualaf Center untuk mengetahui lebih dalam tentang Islam. Namun
setelah hanya 3 jam mendapat penjelasan dari ustadzah Sri, salah satu pengurus
disana, ia mantab untuk memeluk Islam. “Yaudah saya syahadat, gak mikir apa apa
waktu itu” katanya dalam salah satu wawancara di platform
media sosial.
Keputusan untuk berpindah agama adalah salah satu keputusan besar yang
penuh
resiko. Tapi wanita yang sebelumnya adalah penganut Kristen
yang
taat itu memutuskannya dengan cepat tanpa pertimbangan panjang. Padahal
keputusannya itu membawa konsekuensi berat bagi kehidupannya. Ia telah menikah
dan memiliki 3 orang anak. Suaminya adalah penganut kristen yang taat, begitu
pula Mertuanya yang seorang teolog kristen.
Tentu keluarganya menolak keras keputusan tersebut. Ia dipukul,
diseret bahkan hampir dibunuh oleh suaminya sendiri. Kejadian malam itu bahkan
melibatkan pihak kepolisian setempat. Ia kemudian pergi dari rumahnya
bersama 3 anaknya tanpa bekal pakaian. Ia tinggal di tempat yang
disediakan oleh Ustadzah Iren, salah satu ustadzah di Mualaf Center selama
kurang lebih 3 bulan hingga konfliknya mereda dan masalah mulai teratasi.
Kasus diatas adalah salah satu contoh pengambilan keputusan besar
yang membawa konsekuensi cukup berat dalam hidup. Proses pengambilan keputusan
biasanya membutuhkan banyak pertimbangan terkait banyak aspek dari suatu
masalah yang ada.
Bridget Robinson Riegler dan Gregory Robinson Riegler dalam buku
mereka yang berjudul ‘Cognitive Psychology: Applying the Science of Mind’ mendefinisikan
pengambilan keputusan sebagai pemilihan alternatif yang memiliki perbedaan
harga, benefit dan konsekuensi. Artinya pengambilan keputusan adalah proses
pemilihan alternatif yang ada berdasarkan seleksi terbaik.
Hasil dari pemilihan alternatif tersebut diharapkan mampu untuk
menyelesaikan masalah yang ada. Maka dari itu pengambilan keputusan selayaknya
harus menggunakan prosedur yang benar. Irving L. Janis dan Leon Mann dalam buku
mereka yang berjudul ‘Decision Making: Psychological Analysis of Conflict,
Choice and Commitment’ menyebutkan 5 tahapan pengambilan keputusan.
Pertama, menilai masalah. Masalah adalah sesuatu yang perlu
diselesaikan dengan pengambilan keputusan. Pengenalan masalah ini juga termasuk
mengetahui tujuan yang ingin dicapai. Kedua, menilai
alternatif atau pilihan yang ada. Setelah yakin dengan informasi tentang
masalah, kemudian mulai memusatkan perhatian pada alternatif yang ada. Berusaha
mencari masukan dan informasi terkait alternatif tersebut.
Ketiga, menimbang alternatif. Yaitu mulai mengevaluasi seluruh
pilihan yang ada berdasarkan konsekuensi. Keempat, membuat komitmen. Setelah
yakin dengan pilihan yang terbaik, selanjutnya membuat komitmen atas pilihan
yang diambil dan mengimplementasikannya.
Lima tahap proses pengambilan keputusan tersebut dinilai ideal dan
rasional. Sebaliknya jika keputusan diambil tidak berdasarkan tahapan diatas
maka keputusan bisa dinilai bias. Salah satu contoh keputusan bias
adalah saat memutuskan pilihan sesuai dengan yang paling
disukai.
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge dalam buku mereka berjudul ‘Organizational
Behavior’ menyebutnya sebagai bias Favorit Implisit.
Sedangkan pengambilan keputusan dalam Islam dapat disebut sebagai ‘ikhtiar’
yang dalam bahasa arab artinya memilih. Dalam kamus Lisan-l-arab Ikhtiar
merupakan pecahan kata (musytaq) dari kata khoirun atau kebaikan.
Sehingga ikhtiar bermakna memilih dengan pilihan yang terbaik. Meskipun
sebagaimana yang kita tahu ikhtiar sering dimaknai sebagai usaha. Hal
ini bisa jadi karena dengan berusaha seseorang telah memilih suatu pilihan dan
berkomitmen pada pilihan tersebut.
Al-Ghazali dalam ‘Ihya Ulumuddin’ Jilid 4 menyebutkan
bahwa ikhtiar adalah kehendak (iradah) yang tergerak untuk suatu
perbuatan yang nampak bagi akal bahwa perbuatan itu baik. Al-Ghazali juga
menyebutkan bahwa ikhtiar ibarat irodah khususiyah (kehendak yang
khusus) karena ikhtiar bergerak melalui isyarat akal kepada apa yang memiliki
kadar tawaquf untuk mengetahuinya. Sehingga ikhtiar atau
pengambilan keputusan dalam islam didasarkan pada akal yang memahami ilmu yang
baik dan benar terkait alternatif pilihan yang ada.
Ilmu dalam Islam didasarkan pada wahyu dari Allah berupa Al-Quran
dan Sabda Rasulullah SAW berupa Hadist. Menurut Dinar Dewi Kania dalam
tulisannya yang termuat dalam buku ‘Filsafat Ilmu Perspektif Islam dan Barat’
menyebutkan bahwa terdapat 4 sumber untuk memperoleh ilmu dalam islam. Keempat
sumber ilmu itu adalah persepsi indera, akal sehat (ta'aqqul), intuisi
serta berita yang benar atau khabar Shadiq. Khabar shadiq yang memiliki
kredibilitas tertinggi adalah Al-Quran dan Hadist.
Sedangkan Usman Najati dalam bukunya ‘Psikologi dalam Tinjauan
Hadits Nabi’ menyebutkan 2 proses mendapatkan ilmu yang tidak jauh berbeda.
Pertama, melalui panca indra dan akal yang diperoleh melalui observasi dan
pengalaman fisik. Kedua, melalui wahyu, ilham dan ru’yah shodiqoh.
Jadi pengambilan keputusan dalam Islam dapat dimaknai sebagai
proses pemilihan (ikhtiar) pada alternatif pilihan yang ada yang didasarkan
atas kebaikan yang bersumber dari ilmu yang benar.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai-nilai yang dianut oleh kedua sudut pandang diatas. Keputusan yang diambil dalam Islam menganut nilai-nilai kebaikan yang berasaskan ajaran islam. Sedangkan teori pengambilan keputusan –kita sebut saja- konvensional hanya mengandalkan rasionalitas.
Islam sebenarnya tidak menafikan pengambilan keputusan secara
rasional sebagaimana salah satu sumber ilmu dalam Islam adalah persepsi indra
(empiris) dan akal (rasional). Namun Islam memberi pagar pada keputusan
yang diambil haruslah berdasarkan kebaikan (khoirun) yang sesuai dengan
Al-Quran dan Hadist.
Pengambilan keputusan dalam Islam tidak pragmatis yang hanya mendasarkan kebenaran pada asas manfaat apalagi materialis yang hanya mementingkan hal hal kebendaan seperti harta dan uang. Tidak pula berasaskan nilai kebebasan (freedom/liberal) tanpa agama. Juga tidak hanya berasaskan pada konsep kebenaran yang relativistik dan berubah-ubah.
Keputusan drg Carissa Grani tentu bukan keputusan rasional jika
dilihat dari teori Irving L. Janis dan Leon Mann. Proses pengambilan keputusan
tersebut tidak melewati 4 tahap sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Keputusan
yang ia ambil cenderung cepat dan tanpa pertimbangan panjang. Keputusan ini
tentu dinilai impulsif dan bias.
Namun keputusan yang diambil drg Carissa adalah keputusan yang
tepat menurut Islam. Keputusan untuk memeluk islam ini dipilih karena kebenaran
absolut yang ada dalam Islam. Keputusan ini dipilih berasaskan nilai kebaikan
yang telah ditentukan dalam Islam. Meskipun pada awalnya keputusan ini membawa
konsekuensi yang berat, namun menganut nilai-nilai islam adalah bentuk ubudiyah
yang akan membawa kebaikan. Kebaikan untuk kehidupan di akhirat juga kehidupan
didunia sebagaimana disebutkan dalam maqasid syariah.